Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostin-dische Companie) dengan baju baru."
Itulah cuplikan pidato mantan Presiden Indonesia BJ Habibie di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR Taufik Kiemas dan hadirin lainnya dalam peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2011 di gedung DPR/MPR Jakarta.
Pernyataan Habibie ini menyentil kondisi Indonesia yang kian liberal dengan membuka kran lebar-lebar bagi masuknya asing menguasai kekayaan alam Indonesia. Rakyat sebagai pemilik sejati sumber daya alam hanya menjadi konsumen terhadap barang milik mereka sendiri di tanah mereka sendiri.
Hasil jejak pendapat pro dan kontra di www.detiknews.com mengamini pernyataan Habibie ini. Sebanyak 87 persen publik setuju, hanya13 persen yang tak setuju. Mereka merasakan apa yang terjadi itu.
Berdasarkan data yang ada, dominasi asing di sektor-sektor strategis seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, dan perkebunan adalah sebuah fakta yang tak bisa ditolak.
Data penelusuran Kompas menyebut, per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 trilyun dari total aset perbankan Rp 3.065 trilyun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen.
Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.
Terkait keuangan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 milyar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing.
Dominasi itu sangat tampak di pasar modal/bursa efek. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Di sana bisa dilihat pula bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen.
Yang lebih tragis lagi adalah di sektor sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Di perusahaan patungan itu porsi asing pun cukup besar.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2009, dari total produksi minyak di Indonesia, Pertamina hanya memproduksi 13,8 persen. Sisanya dikuasai swasta asing seperti Chevron (41 persen), Total E&P Indonesie (10 persen), Conoco Philips (3,6 persen) dan CNOOC (4,6 persen).
Data lain mengungkap lebih rinci penguasaan ladang minyak dan gas di Indonesia oleh asing tersebut. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam kategori super major, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP Amoco Arco, dan Chevron Texaco. Lima perusahaan ini menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Selebihnya masuk kategori major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex. Perusahaan ini menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Perusahaan independen hanya menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen. Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia mencapai 1.655 milyar dolar AS atau 14,3 ribu trilyun/tahun. Ini jauh lebih besar dibandingkan total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 yang mencapai Rp 1.697,44 trilyun.
Tidak hanya di hulu, perusahaan migas asing ini pun mulai merambah ke sektor hilir. Beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Bahkan pemerintah memberikan kesempatan kepada masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia.
Di sektor telekomunikasi, perusahaan asing mendominasi perusahaan telekomunikasi. Bahkan perusahaan negara yang sangat vital dalam lalulintas data yakni INDOSAT, 70,14 persen sahamnya dimiliki asing. Porsi asing di perusahaan telekomunikasi lainnya cukup besar. SmartFren Telecom 23,91 persen, Telkomsel 35 persen, Hutchinson 60 persen, Xl Axiata 80 persen, dan Natrindo 95 persen.
Asing kini pun mulai merambah sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Guthrie Bhd (Malaysia) 167.908 Ha. Wilmar International Group (Singapura) 85.000 ha, Hindoli - Cargill (AS) 63.455 ha, Kuala Lumpur Kepong Bhd (Malaysia) 45.714 ha, SIPEF Group (Belgia) 30.952 ha, Golden Hope Group (Malaysia) 12.810 ha (Kompas, 23/5).
Di luar itu, produk-produk Cina membanjiri pasar Indonesia. Semua produk Cina dari mulai jarum, peniti, hingga pesawat terbang masuk Indonesia tanpa bisa lagi dikendalikan.
Meski data sedemikian gamblang, pemerintah menyatakan secara keseluruhan tidak ada dominasi asing di Indonesia. Lalu apa dong?
Sengeka Golla, Na U' Senge'ki Kaluku, Na To' Sirampe Ri' Manennungeng, Narekko Massarakki Bajae Sangadie, Napoleiki Uddani Congaki Ribittarae Tosiduppa Mata Riketengnge. Rekko Pale Maeloki Missengi Kareba'ku, Ta'kutanangngi Pasekku Ri Anging Labu Kessoe. Engkatu Bunga-bunga Sitakke Utanengakki, Narekko Makellei Daunna Tabollorangmanika Kasi Na'saba Wae Mata. Sarekkoammengi Engka Mancaji Passengereng Pallawa Uddani.