IKLAN LAYANAN ANDA

Kamis, 15 Maret 2012

RINTIHAN Sang GARUDA


Ketika Indonesia kalah 0-10 dari Bahrain, lalu gagal menjuarai Piala Sultan Hassanal Bolkiah, ada yang tertawa, marah, nyinyir, menggoblok-gobloki, sedih, diam.

Mungkin sepakbola bukanlah alat pemersatu bangsa ini.

Tapi mungkin itulah hebatnya sepakbola jika sudah dianggap sebagai "agama". Nilai-nilainya beragam diinterpretasi, atau bahkan diselewengkan dengan mengatasnamakan agama itu sendiri.

Kebenaran disepakati cuma milik Tuhan, tapi kita tetap saja menuhankan kebenaran-kebenaran yang secara serampangan kita artikan, mungkin itu karena sesungguhnya kita tidak benar-benar tahu apa yang kita ketahui dan lakukan.

Maka kita pun (merasa) boleh berbicara apa saja tentang kekalahan besar dari Bahrain, atau ketidakberhasilan mengatasi "anak bawang" bernama Brunei Darussalam.

"Ini gara-gara PSSI tidak becus, mengirim tim kemarin sore."

"Inilah yang diingini orang-orang status quo, yang masih tidak rela dengan kekalahan di bulan Juli tahun lalu."

"Kasihan pemain dan pelatih ...."

"Parah, memalukan, guoblookk!!"

Dan lain-lain, dan seterusnya, dan seterusnya.

Identitas kita mungkin cepat berubah. Belum sampai dua tahun ketika semua orang teramat bangga memakai baju merah berlogo burung Garuda di dada. Betapa sayangnya kita pada setiap pemain timnas di Piala AFF 2010, sampai-sampai media massa terus menyiarkan mereka setiap menit.

Tadi belakangan ini identitas timnas sudah "(di)kabur(kan)". Sebagian orang cuma mau melihat itu sebagai akibat PSSI yang hanya memakai pemain-pemain dari kompetisi IPL. Sebagian membalasnya dengan tak kalah telak: "Selama ini produk ISL juga tidak berprestasi".

Mungkin sebagian dari kita sudah terlalu "tua" untuk menunggu lebih lama lagi, kapan Indonesia punya prestasi dari lapangan sepakbola. Dua dekade mestinya sudah cukup. Duapuluh tahun! Maka dari itu, "hasil" adalah segalanya.

Mungkin mereka tidak sadar, betapa kita punya potensi untuk menunggu puluhan tahun lagi apabila penyelenggaraan sepakbola di tanah air selalu kisruh. Lha bagaimana tidak mandek kalau itu terus terjadi dan kita adalah bagian dari kekisruhan itu sendiri.

Kita ini mungkin cuma "gerombolan orang" yang mengaku cinta mati pada (kemajuan) sepakbola (Indonesia)". Pura-pura perhatian, padahal malahan bisa mengacaukan, baik karena motif-motif pribadi maupun lantaran keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. (Oya, persetan dengan kepentingan politik "orang-orang di atas sana").

Menurut saya kita ini sudah bercerai-berai, gara-gara birahi tinggi, pengetahuan bahkan kesoktahuan kita, plus kebebalan mereka-mereka yang punya kuasa dan amanah. "Dualisme" PSSI-KPSI, IPL-ISL, suporter reformis-pendukung status quo, atau apapun lah namanya.

Suporter terbelah, saban hari saling ejek di jejaring sosial, dari tentang sistem, moralitas, kualitas teknis permainan, lapangan yang mirip sawah-ladang, sampai soal komentator pertandingan. Dengan keyakinannya masing-masing, media massa pun terbagi-bagi sikapnya.

Mungkin sebenarnya kita mulai membuang tenaga untuk sesuatu yang tidak solusif, dengan segala pertikaian yang terjadi, baik di level atas sampai ke akar rumput. Mungkin saya pun terlalu naif mengatakan itu, seolah-olah keadaan gampang diubah cuma dengan kata-kata "imbauan" -- seperti yang saya tuliskan di sini.

Mungkin juga kita memang harus terus bicara, menjaga nilai-nilai, memberitahu mana dan siapa yang salah, mana yang semestinya dilakukan, apa yang menjadi keyakinan kita pada "kebenaran bersepakbola", dan lain-lain. Kita memang terlalu cinta (dan gila) pada sepakbola. Mungkin kita bisa "mati" kalau tidak bicara soal sepakbola nasional.

Tapi mungkin inilah waktunya buat pengurus PSSI menjawab segala keingintahuan publik tentang perkembangan, kemajuan pekerjaan mereka, juga pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantui masyarakat, termasuk tentang beberapa kekeliruan yang menurut mereka telah dilakukan PSSI.

Semestinya bukanlah tugas orang-orang tertentu seperti pengamat, jurnalis, penulis lepas atau warga "awam" untuk berbusa-busa menjelaskan lewat media massa atau social media seperti twitter, kenapa PSSI tidak memakai pemain-pemain ISL di timnas -- misalnya. Bukan tugas mereka untuk bercapek-capek menerangkan alasan-alasan kenapa PSSI harus menerapkan aturan-aturan yang ada -- misalnya.

Itu semua adalah kewajiban pengurus PSSI, yang sebagian bahkan sudah sangat terkenal di mata dan telinga masyarakat Indonesia, karena organisasi ini begitu "besar dan penting", yang usianya bahkan lebih tua daripada republik ini.

Menurut hemat saya PSSI harus mengubah cara komunikasi mereka kepada masyarakat. Mereka harus memahami dan menyadari bahwa setiap isu terkait PSSI sangat sensitif buat publik, dan itu tidak bisa dibiarkan menjadi liar. Apalagi semua orang tahu, ada pertarungan antarkubu yang begitu kentara dan -- maaf -- membuat muak dan lelah sebagian orang, karena begitu tidak sterilnya sepakbola kita dari urusan politik.

Cara berkomunikasi yang gampang buat saya cuma dua: transparan dan jujur. Dua hal itu gagal total dilakukan rezim Nurdin. Satu cara lagi -- itupun kalau mau -- adalah: "sampaikan, terangkan dengan cerdas dan penuh kerendahan hati". Mungkin people will see.

Dalam dua minggu terakhir ada percepatan situasi terkait kekisruhan. Pemerintah akhirnya terlibat langsung lagi, seperti ketika mereka pernah menyatakan tidak mengakui Nurdin dan jajarannya di akhir masa mereka. Presiden SBY sampai mengungkapkan keprihatinannya pada orang-orang bola yang gemarnya berkonflik. Menpora Andi Mallarangeng pun menyetop sementara anggaran untuk kepentingan tim nasional di semua level.

KONI juga mencoba berperan dengan menyediakan mediasi antara PSSI dan KPSI. Setelah bertemu dengan masing-masing pihak, hari ini mereka bertiga akan membahasnya lagi. Apa hasilnya, kita tunggu beberapa jam lagi dari sekarang.

PSSI terlihat melunak dalam hal kompetisi ISL. Mereka sudah mengundang klub-klub ISL untuk bertemu di Hotel The Crowne Plaza hari Rabu kemarin, tapi cuma Persib Bandung yang menghormati undangan itu, dengan menghadirinya.

Sampai hari ini pula sudah dua kali PSSI mengisyaratkan akan mengakui ISL. Yang pertama dinyatakan saat bertemu tim mediasi dari KONI, lalu dari pertemuan yang "bertepuk sebelah tangan" tadi malam. Sejauh ini syarat awal mereka "gampang": klub-klub ISL harus mengakui bahwa PSSI adalah satu-satunya induk sepakbola di negeri ini.

Saya menganggap sikap ini sebuah kemajuan penting. Semestinya pihak yang berseberangan (dan KPSI) juga punya niat baik untuk menindaklanjuti sikap PSSI tersebut. Duduklah bersama, bicarakan semuanya dengan baik-baik, dengan kepala dingin. Demi waktu: seberapa banyakkah sebenarnya waktu yang bisa kita punya untuk memperbaiki semua ini?

Apakah, ya Tuhan, sebegitu sulitkah mempersatukan orang-orang yang, ironisnya semua mengaku cinta pada sepakbola Indonesia, dan siap "mati-matian" membangun sepakbola negeri ini? Apa iya, tidak pernah ada "satu Indonesia" di dunia sepakbola kita?

Jika tidak, mungkin ada baiknya mereka segera menghentikan setiap retorika ingin membangun sepakbola Indonesia. Masyarakat selalu punya cara sendiri untuk mencintai sepakbolanya ini. Dan saya percaya, sering kali kecintaan orang-orang di jalanan, yang untuk mendatangi stadion pun harus menabung berhari-hari, jauh lebih murni dan menyenangkan daripada yang duduk di bangku empuk, dengan uang tak berbatas.

Maka ambillah cermin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar